Monday, September 17, 2007

Membaca Sama Asyiknya dengan Nonton

Teman gaul tak hanya bisa didapat di mal, arena dugem, atau chatting di Internet. Di toko buku pun bisa ketemu teman gaul yang tak kalah sip. Buku namanya. Apa asyiknya sih berteman dengan "dia"?
"Kalau disuruh milih, gue mendingan nyuci deh daripada baca. Kalau nyuci atau nyetrika kan ketahuan hasilnya."

Ucapan ini muncul dari salah seorang teman. Tak perlu heran apalagi kaget, karena bagi teman kita ini mencuci baju lebih menyenangkan ketimbang membaca buku. Ia bahkan ogah-ogahan ketika disodori komik. "Pernah tuh cewek gue ngasih komik, apa tuh, yang ada tokoh bawa batu gede?" ujarnya. Maksudnya adalah tokoh Obelix di serial komik Asterix.
Membaca bagi sebagian dari kita memang bukan kegiatan yang menyenangkan. Jangankan hobi, memegang buku saja alergi. Buat remaja seperti ini tentulah yang namanya komik, cerita bergambar, novel, dan sebangsanya bukan "teman" mengisi waktu luang.
"Buat gue membaca itu membosankan. Gue lebih suka melakukan aktivitas yang lebih aktif daripada membaca. Bagi gue, membaca itu kegiatan pasif," ujar Martinus Aditya Putera, siswa SMU St Fransiskus Asisi, Jakarta.
Kalaupun punya uang, Martinus kurang tertarik untuk membelanjakan buku. Uang sakunya biasanya ia keluarkan untuk menebus kegiatan hang out kesukaannya. "Gue sih mendingan beli baju," katanya.
Memang sih, membaca itu tak memerlukan persiapan khusus, ruang spesifik, dan tenaga besar. Tak heran jika Martinus merasa kurang ada aktivitas fisik yang dilakukan. Baginya, membaca hanya membuatnya bosan. "Gue lebih suka jalan-jalan sama temen atau dugem. Kegiatan itu tuh lebih seru," kata cowok bontot dari lima bersaudara itu.
Membaca di negeri orang bisa dilakukan di mana saja. Di Jepang umpamanya, ketika membaca sudah jadi habit- bukan sekadar hobi-kegiatan ini bisa dilakukan di kereta api sembari berdiri. Atau di taman kota sambil menikmati minuman ringan dan siraman Matahari.<>
"Gue pernah naik kereta yang kayaknya semua penumpangnya baca buku. Ada yang baca koran pagi, novel, komik. Macem-macem, sampe gue merasa enggak enak sendiri," ujar Robby, seorang mantan mahasiswa yang pernah tinggal di Jepang selama lima tahun.
Orang-orang Jepang tentu sudah dari kecil punya kebiasaan membaca. Mereka dari kecil sudah kenal berbagai macam media baca. Tak heran jika industri penerbitan, khususnya komik, begitu dahsyat karena pasarnya punya minat baca yang tinggi.
Kata Bu A Kasandra Putranto Psi, psikolog yang bekerja di konsultan Psychological Practice, orang Indonesia memang belum memiliki kebiasaan membaca. "Kebiasaan itu bisa dimulai dari kecil," ujarnya.
Seperti Putu Sanjaya Setiawan contohnya. Siswa SMU Kanisius ini mengaku, sejak umur empat tahun sudah doyan membaca. "Awalnya ikut- ikutan orangtua baca koran," lanjut cowok sulung dari dua bersaudara ini.
Begitu orangtuanya mengenalkan bacaan anak-anak, maka ketertarikan Putu untuk membaca buku-buku lain pun dimulai. Kebetulan orangtua cowok kelahiran 14 Desember 1986 ini juga punya kegemaran serupa. Kegemaran ini akhirnya menjadi turun-temurun.
"Memang peran orangtua sangat besar untuk mengenalkan sekaligus mengajak membaca. Perilaku ini biasanya akan diikuti oleh si anak," ujar Bu Kasandra. Seperti halnya Putu, adiknya yang masih duduk di sekolah dasar pun kini meniru kegemaran tersebut. Kini di rumahnya, masing-masing orang seperti sudah punya bacaan sendiri-sendiri. "Bokap gue baca buku-buku tentang manajemen, kalau nyokap suka novel," terangnya.
Koleksi buku
Wah, asyik betul kalau di rumah sudah seperti taman bacaan. Apalagi kalau didukung dengan ruangan yang menyenangkan. Jumlah buku di rumah Putu sudah tak terbilang banyaknya. Ia sendiri sampai punya lemari yang penuh sesak dengan berbagai macam judul buku, komik, dan lainnya. "Ada yang warisan dari bokap," lanjut penyuka penulis seperti Sir Arthur Conan Doyle, JK Rowling, dan JRR Tolkien.
Tahu dong, nama pengarang-pengarang ini? Ya, Sir Arthur adalah pengarang buku detektif Sherlock Holmes. JK Rowling yang melahirkan Harry Potter, sedangkan JRR Tolkien pengarang buku The Lord Of The Ring yang filmnya sudah dua sekuel dibikin. Para pengarang ini, menurut kacamata Putu, mampu membuat pembaca penasaran. "Pokoknya kita enggak tau apa yang terjadi selanjutnya. Tapi bahasa yang mereka sampaikan sangat mudah dipahami," terang cowok yang juga hobi main komputer ini.
Saking banyaknya buku yang sudah ia koleksi, tak heran jika Putu bisa dengan cepat menghabiskan sebuah buku. Misalnya buku Supernova karangan Dewi Lestari, ia tuntaskan dalam tempo semalam. Padahal, buku itu setebal sekitar 270 halaman. Sementara untuk yang lebih tebal, paling lama ia selesaikan selama dua minggu.
Putu tak perlu mencari tempat khusus untuk membaca. Cukup di rumah saja. "Yang penting tenang, enggak ribut. Ada musik juga oke, asal bukan yang ribut," akunya. Kenapa begitu?
Membaca buku khususnya kadang memerlukan ketenangan agar kita bisa menikmati alur cerita atau paparan sang penulis. "Untuk buku nonfiksi atau pelajaran memerlukan konsentrasi," katanya.
Hobi membaca bagi Putu tak hanya berkisar menghabiskan sebuah buku. Ia juga perlu berburu buku. Berbagai toko buku pernah ia datangi. Jika tak mendapatkan buku yang diinginkan, Putu tak patah semangat. Perburuan pun dilakukan lewat Internet, mencari situs-situs yang menyediakan cara belanja on-line seperti Amazon.com. "Kalau buku yang berbahasa Inggris gue nyari di QB," sahut cowok yang sudah mengoleksi lima seri novel Harry Potter ini. Yang ia sebut adalah sebuah toko buku yang memang cukup lengkap dan suasana interiornya macam di kafe saja. Ketika liburan, Putu bisa membeli sampai lima buku.
Beda dengan Martinus, meski pernah ke toko buku, tapi bukan bahan bacaan yang ia cari. "Gue sih ke toko buku buat nyari alat tulis," seru penghobi makan, belanja, dan dugem ini. Kalaupun ada media cetak yang mampu menjerat minatnya adalah komik seperti Donal Bebek misalnya. Kata Martinus, bacaan model begini agak ringan dan tak membosankan.
Akses mudah
Tidak suka membaca, buat kita rasanya ungkapan ini terasa aneh. Bukankah sejak SD sampai sekarang kita selalu diajak untuk membaca? Bahkan jika kita mampir ke toko buku, kadang kita suka membolak- balik buku. Nyatanya, banyak juga loh temen-temen kita yang sama sekali tak suka seperti Martinus tadi.
Akses yang mudah diperoleh, menurut Bu Kasandra, bisa jadi salah satu sebab mengapa kita ogah membaca. Penjelasannya begini, ketika akses televisi, radio, atau Internet gampang diperoleh dan menyediakan layanan yang memudahkan, maka kita jadi terpicu untuk memanfaatkan segala macam kemudahan itu. Bayangkan, fasilitas yang disebut tadi biasanya tersedia di kamar kita. Kita tinggal memencet tombol-tombol dan segudang informasi tersedia di sana.
Kalau sudah begitu, apa lagi sih asyiknya membaca buku?
Perasaan yang kita dapat lewat membaca itu berbeda dengan menonton televisi atau melihat Internet. Kata Putu, ketika ia membaca, khususnya novel tentang detektif atau fantasi, ia bakal penasaran. Ceritanya yang meliuk-liuk dan seringkali membuat pembacanya bertanya-tanya. Kalau sudah mulai, dijamin kita susah berhenti. Itulah keunikan membaca, di mana kita diajak untuk membayangkan sebuah peristiwa. Berbeda dengan menonton yang secara visual sudah bisa kita tangkap kejadiannya.
Oleh sebab itu, tak heran jika kita menyaksikan sebuah film yang diangkat dari buku, apa yang kita bayangkan berbeda dengan visualisasi film. "Gue kecewa ketika nonton Harry Potter sekuel pertama, soalnya beda banget dengan bayangan gue waktu baca bukunya," ujar Robby.
Selain itu, membaca juga melatih kita untuk memahami sebuah bahasa tulis. Apalagi jika sebuah buku ditulis dalam bahasa asli seperti bahasa Inggris misalnya. "Kalau ada, gue biasanya lebih suka bahasa Inggris. Soalnya lebih seru," kata Putu. Sederhananya, lewat buku kita juga bisa mengasah kemampuan bahasa asing. Tentu saja masih segudang keuntungan lainnya.
Yang terang, ketika begitu banyak buku bertebaran di toko-toko buku, di pasar buku, juga di pameran, namun kenapa kita masih juga ogah- ogahan membaca. Bahkan sekalipun membaca buku teks yang harus kita lahap dalam rangka ujian pun kita masih malas.
"Gerakan membaca harus terus dilakukan. Juga mesti sering ada pameran buku murah," saran Bu Kasandra. Dengan begitu, budaya buku kelak tidak hanya menjadi sebuah kebiasaan, tapi kebutuhan.
Persis seperti kata Hilman Hariwijaya yang belakangan ini sering tampil pada sebuah pariwara yang ditampilkan di TV7. Membaca buku perlu. Sama halnya dengan mendengarkan musik atau menonton film misalnya. Siapa tahu kita mendapat banyak informasi dan inspirasi dari sebuah buku.
KENNY SANTANA/ ANDRA NURYADI Tim MUDA
Sumber : Kompas

No comments: